PIAGET’S
COGNITIVE DEVELOPMENTAL THEORY
Menurut
Piaget (1952) masa kanak-kanak adalah masa praoperasional. Anak-anak prasekolah
membentuk konsep yang stabil, dan mereka memulainya dari akal, tetapi pikiran
mereka rusak karena egosentris dan sistem kepercayaan magis.
The Concrete
Operational Stage
Piaget mengemukakan bahwa tahap operational concrete terbentuk kira-kira
pada usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, anak-anak dapat melakukan operasi
konkrit, dan berpikir secara logika selama dapat diaplikasikan secara spesifik
ataupun contoh yang spesifik. Ingat bahwa operasi adalah tindakan mental yang
bersifat reversibel, dan operational
concrete dapat diaplikasikan secara nyata, benda-benda konkrit.
Sesuai dengan contoh bab 7
mengenai operational concrete dimana
sebuah 2 bola lilin dibentuk dalam bentuk yang berbeda tetapi tetap memiliki
jumlah yang sama. Bola pertama dibentuk tipis dan yang kedua dibentuk tetap.
Anak-anak pada usia kanak-kanak awal mengatakan bahwa yang berbentuk tipis
lebih banyak daripada yang berukuran bulat, sedangkan anak-anak masa akhir
mengatakan keduanya memiliki jumlah yang sama. Untuk menjawab permasalahan
secara tepat, anak- anak harus mengimajinasikan lilin tersebut di rolling
menjadi bulat. Tipe imajinasi ini melibatkan action mental reversible ke realita dan objek konkret. Concrete operations memungkinkan anak
untuk mempertimbangkan beberapa karakterisktik daripada berfokus pada satu dari
obyek tersebut. Pada contoh lilin tersebut, anak – anak hanya berfokus pada
tinggi dan lebar dari benda sedangkan pada anak – anak concrete preoperational mendapatkan informasi dari kordinat dari
berbagai dimensi.
Selanjutnya, apa kemampuan lain
yang dapat diraih oleh anak-anak pada tahap praoperasional? Salah satu
keterampilan penting adalah kemampuan untuk mengklasifikasikan atau membagi
sesuatu ke dalam set yang berbeda dan subset dan mempertimbangkan keterkaitan
mereka.
Anak yang telah mencapai tahap concrete operational juga mampu dalam seriation, dimana kemampuan tersebut
mampu menstimulasi sepanjang dimensi kuantitatif (contohnya panjang). Seperti
contoh, seorang guru meletakkan 8 buah tongkat dalam ukuran panjang yang
berbeda dan guru meminta mereka untuk mengurutkannya. Namun, anak –anak
mengurutkannya berdasarkan ukuran ‘besar’ dan ‘kecil’ daripada mengurutkannya
sesuai ukuran. Seharusnya pengurutannya berdasarkan dari pendek ke panjang.
Aspek
lain dari reasoning tentang hubungan antar kelas disebut transitivity, dimana transitivity ini adalah kekampuan
logika untuk mengkombinasikan hubungan untuk mendapatkan kesimpulan tertentu.
Seperti contoh kasus, diberikan 3 buah tongkat (A, B, dan C) yang memiliki
panjang yang berbeda. A adalah terpanjang, B ukuran sedang, dan C yang
terpendek. Apakah anak-anak mengerti bahwa A lebih panjang daripada B dan B
lebih panjang dari C, kemudian A lebih panjang daripada C? Dalam teori Piaget,
concrete operational berpikir hal demikian sedangkan pemikir preoperational
tidak.
Evaluating
Piaget’s Concrete Operational Stage
Menurut Piaget, aspek yang berbeda
pada tiap tahap dapat muncul dalam waktu yang bersamaan. Faktanya, bagaimanapun
kemampuan concrete operational tidak dapat muncul secara sinkron. Sebagai
contoh, anak-anak tidak dapat belajar pengawetan secara bersamaan dengan
belajar klasifikasi silang.
Sejauh ini, edukasi dan budaya
memiliki pengaruh yang kuat dalam perkembangan anak daripada apa yang Piaget
kemukakan.
Neo-Piagetions
berpendapat bahwa apa yang dikatakan Piaget adalah benar tetapi beberapa
teorinya memerlukan perbaikan. Mereka memberikan beberapa tekanan bagaimana
anak menggunakan atensi, memori dan strategi untuk memproses informasi.
INFORMATION PROCESSING
Menganalisis
tipe-tipe pemikiran yang diperlihatkan anak-anak, kita akan menelaah cara
mereka menangani informasi selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir.
Selama masa ini, sebagian besar anak memperlihatkan kemajuan yang dramatis
dalam mempertahankan dan mengendalikan atensi. Mereka lebih banyak menaruh
perhatian pada stimuli yang relevan dengan tugas dibandingkan stimuli yang menonjol.
Perubahan-perubahan lain dalam pemrosesan informasi selama masa kanak-kanak
pertengahan dan akhir ini mencakup memori, pemikiran, dan metakognisi.
Memory
Merupakan penyimpanan informasi
seiring dengan berjalannya waktu melalui proses
pengodean, penyimpanan dan pengambilan. Dan berikut adalah tiga tahapan
ingatan :
A. Encoding
Memori
Sebuah proses
saat informasi mask ke dalam penyimpanan ingatan. Hal-hal yang harus
diperhatikan saat proses encoding seperti:
atensi, tingkat pemrosesan (dangkal, menengah, dan dalam), elaborasi dan
imajinasi.
B.
Penyimpanan Memori
Mencakup
bagaimana informasi diperhatikan seiring dengan waktu dan bagaimana informasi
direpresentasikan dalam ingatan. Atkinson-Shriffrin theory menyatakan bahwa ada tiga sistem penyimpanan: sensoris, jangka pendek dan jangka panjang.
C.
Pengembalian Kembali
Memori
Proses
ingatan ketika mengeluarkan informasi dari penyimpanan. Pada tahapan ini
terdapat, serial position effect, isyarat
retrieval dan tugas retrieval.
Pada masa kanak-kanak awal, proses
memori jangka pendek lebih unggul. Sedangkan
pada masa kanak-kanak pertengahan yang berkembang adalah memori jangka
panjang. Memori jangka panjang (long-term
memory), ingatan yang relatif permanen dan merupakan tipe ingatan yang tidak terbatas, meningkat seiring dengan
bertambahnya usia di masa kanak-kanak pertengahan dan akhir. Dalm beberapa hal,
kemajuan dalam ingatan ini mencerminkan meningkatnya pengetahuan anak-anak dan
meningkatnya kemampuan mereka dalam menggunakan strategi-strategi.
Pengetahuan
dan Keahlian
Banyak riset mengenai peran pengethuan
terhadap memori melakukan perbandingan antara pengetahuan ahli dan pemula. Para
ahli memiliki pengetahuan ysng luas mengenai bidang tertentu; pengetahuan ini
memengaruhi apa yang meeka perhatikan serta bagaimana mereka mengorganisasi,
memyajikan, dan menginterpretasikan informasi. Hai ini akan memneri pengaruh
pada kemampuan mereka untuk mengingat, bernalar, dan memecahkan masalah.
Misalnya, anak-anak berusia 10-11 tahun yang berpengalaman sebagai pemain catur
mampu mengingat lebih banyak informasi mengenai seluk-beluk catur dibandingkan
dengan para mahasiswa yang masih menjadi pemula dibidang catur. Tetapi, jika
mahasiswa tadi diberi stimuli lain, mereka mengingat lebih baik dibandingkan
dengan anak-anak yang menjadi pemain catur tersebut. Oleh karena itu, keahlian
anak-anak dalam hal catur member ingatan superior, tapi hanya pada bidang itu
saja.
Anak-anak yang lebih tua biasanya
memiliki banyak keahlian mengenai sebuah subjek dibandingkan anak-anak kecil,
dimana hal ini berkontribusi terhadap ingatan yang lebih baik untuk subjek itu.
Strategi
Memori jangka panjang tergantung pada
aktivitas belajar yang dilakukan invidu ketika mempelejari dan mengingat
informasi. Strategi sendiri terdiri dari aktivitas mental yang disengaja untuk
meningkatkan pemrosesan informasi. Berikut merupakan beberapa strategi yang
efektif digunakan oleh orang dewasa dalam meningkatkan keterampilan memori
anak:
·
Mendorong anak-anak
untuk melakukan pencitraan-bayangan (mental
imagery).
Hal ini dapat membantu mengingat
gambar-gambar, bahkan untuk anak-anak kecil sekalipun. Nemun, untuk mengingat
informasi verbal, pencitraan bayangan bisa dilakukan secara lebih baik oleh
anak-anak yang lebih besar dibandingkan anak kecil.
·
Memotivasi anak-anak
untuk mengingat sesuatu sesuatu dengan memahami alih-alih mengingatnya.
Anak-anak akan mengingat informasi
secara lebih baik untuk waktu yang lama jika mereka memahami informasi daripada
hanya menghapal dan melatihnya. Latihan berfungsi dengan baik untuk mengkodekan
informasi dari memori jangka panjang, namun ketika anak-anak perlu mengambil
informasi dari memori jangka panjang, latihan akan kurang efisien. Sebagian
besar informasi memerlukan pemahaman bagi anak-anak, memberikan arti,
mengelaborasi, serta mempersonalisasikannya. Berikan konsep dan ide untuk
mengingat kepada anak-anak kemudian tanyakan bagaimana mereka dapat
menghubungkan konsep dan ide tersebut dengan pengalaman pribadi mereka,
sehingga mereka akan memroses informasi secara lebih dalam.
·
Ulangi dengan variasi
terhadap informasi instruksi serta kaitkan sedari awal dan lakukan sering kali.
·
Ini direkomendasi ahli
perkembangan memori, Patricia Bauer (2009b), untuk meningkatkan konsolidasi dan
rekonsolidasi anak-anak terhadap informasi yang mereka pelajari. Variasi dalam
tema pelajaran meningkatkan jumlah kumpulan penyimpanan memori serta cakupan
jaringannya; kedua strategi ini memperluas cara pengambilan informasi dan
penyimpanan.
·
Menambahkan bahasa
yang relevan dengan memori ketika member instruksi pada anak-anak.
Dalam penelitian terbaru dengan
observasi ekstentif terhadap sejumlah guru kelas satu sekolah dasar, Peter
Ornstein dan koleganya menemukan bahwa ketika di observasi, para guru jarang
menggunakan pertanyaan usulan strategi atau metakognitif. Dalam penelitian ini,
ketika siswa dengan pencapaian prestasi rendah ditempatkan diruang kelas di
mana guru dikategorikan sebagai “guru dengan hapalan tinggi”, guru itu
menambahkan informasi yang relevan dengan memori dakam pengajarannya, prestasi
siswa itu meningkat.
Fuzzy Trace Theory
Menyatakan bahwa ingatan paling baik
dapat dipahami jika mempertimbangkan dua tipe representasi ingatan:
1. Jejak
ingatan verbatim (verbatime memory trace)
2. Intisari
(gist)
Verbatim memory
trace terdiri dari detail-detail yang tepat memgenai informasi. Sementara gist,
merujuk pad aide inti mengenai informasi. Ketika gist digunakan, maka fuzzy traces akan dibangun. Meskipun individu
di semua usia menyaring gist,
anak-anak kecil cenderung menyimpan dan mengeluarkan kembali verbatim traces.
Sampai titik tertentu di masa sekolah dasar, anak-anak mulai banyak menggunakan
gist, dan menurut teori ini, hal ini
dapat meningkatkan ingatan dan penalaran anak-anak yang lebih tua karena fuzzy traces dapat bertahan lebih lama
dan tidak mudah dilupakan sepertu verbatim
traces.
Thinking
Empat aspek penting dari berpikir adalah executive function (fungsi eksekutif), critical thinking (berpikir kritis), thinking creatively (berpikir kreatif),
dan thinking scientifically (berpikir
ilmiah).
Executive
Function
(Fungsi Eksekutif)
Beberapa topik kognitif seperti cara
kerja memori, berpikir kritis, berpikir kreatif, dan metakognisi dapat dianggap
bagian dari fungsi eksekutif dan terkait untuk pengembangan korteks prefrontal
otak dan juga mencakup perkembangan otak pada masa kanak-kanak tengah dan
akhir, kita telah mengetahui bagaimana cara meningkatkan kontrol kognitif,
dimana melibatkan kontrol efektif dan fleksibel di beberapa area seperti
memfokuskan atensi, mengurangi pikiran yang bercampur, menghambat perilaku
motorik, dan melatih kefleksibelan dalam memutuskan antara memilih persaingan.
Adele Diamond dan Kathleen Lee
(2011) mengatakan mengenai fungsi eksekutif, mereka menyimpulkan 3 hal yang
paling penting untuk anak berusia 4 sampai 11 tahun dalam perkembangan kognitif
dan kesuksesan sekolah :
·
Self-control/inhibition
Anak-anak butuh untuk
mengembangkan self-control yang akan
membuat mereka dapat berkonsentrasi dan gigih dalam pembelajaran tugasnya,
untuk menghindari kecenderungan mereka mengulangi respon yang salah, dan untuk
menolak impuls melakukan sesuatu sekarang yang nanti akan mereka sesali.
·
Working memory
Anak-anak butuh kinerja otak
yang efektif untuk kinerja mental dengan massa informasi yang akan mereka
hadapi saat sekolah dan di luar sekolah.
·
Flexibility
Anak-anak butuh
kefleksibelan dalam pikiran mereka untuk mempertimbangkan perbedaan strategi
dan perspektif.
Peneliti
menemukan bahwa fungsi eksekutif adalah prediktor kesiapan sekolah yang lebih
baik daripada IQ umum. Beberapa perbedaan aktivitas yang telah ditemukan untuk
meningkatkan fungsi eksekutif otak, seperti mengatur latihan menggunakan
permainan untuk meningkatkan kinerja otak, latihan aerobic, mindfulness
(waspada, penuh perhatian, dan fleksibel secara kognitif dalam menjalani
aktivitas dan tugas sehari-hari), dan beberapa tipe kurikulum sekolah.
Dipercaya bahwa fungsi eksekutif dan kemampuan pola pengasuhan yang baik itu
berhubungan. Ketika kita melihat anak-anak dengan fungsi eksekutif yang baik,
kita sering melihat orang-orang dewasa disekitarnya yang memiliki self-regulator yang baik.
Critical
Thinking
(Berpikir Kritis)
Saat ini, para psikolog dan pendidik
cukup tertarik pada cara berpikir kritis. Berpikir
kritis mencakup kegiatan berpikir secara reflektif dan produktif serta
mengevaluasi fakta. Menurut Ellen Langer (2005), rasa mindfulness (waspada, penuh perhatian, dan fleksibel secara
kognitif dalam menjalani aktivitas dan tugas sehari-hari) merupakan aspek yang
penting dari berpikir kritis. Anak-anak dan orang dewasa yang penuh perhatian
mempertahankan kewaspadaan lingkungan kehidupannya dan termotivasi untuk
menemukan solusi terbaik terhadap tugas-tugas. Individu-individu yang penuh
perhatian menciptakan ide-ide baru, terbuka terhadap informasi baru, dan
beroperasi dengan perspektif tunggal.
Jacquelme dan Matin Brooks (2001)
mengeluh karena hanya terdapat beberapa sekolah yang benar-benar mengajarkan
para siswanya untuk berpikir kritis dan mengembangkan pemahaman yang mendalam
mengenai konsep. Pemahaman yang dalam dapat terjadi jika para siswa dirangsang
untuk memikirkan kembali ide-ide yang sebelumnya telah mereka miliki. Di dalam
pandangan Brooks dan Brooks, sekolah terlalu banyak menghabiskan waktu dengan
meminta para siswa memberikan sebuah jawaban yang benar melalui cara imitatif,
dan juga mendorong mereka memperluas pemikiran dengan berbagai ide baru dan
memikirkan kesimpulan yang sebelumnya telah diperoleh. Mereka mengamati para
gutu sering meminta siswa-siswa untuk menceritakan kembali, mendefinisikan,
mendeskripsikan, menyatakan, dan membuat daftar, dan juga menganalisis,
menyimpulkan, mengaitkan, menyintesakan, mengkritisi, menciptakan,
mengevaluasi, memikirkan, dan memikirkan kembali. Banyak siswa yang mampu
menyelesaikan tugas-tugasnya, mengerjakan tes dan memperoleh nilai yang baik,
namun mereka tidak pernah belajar untuk berpikir secara kritis dan mendalam.
Mereka berpikir secara superfisial, tetap berada pada permukaan masalah dan juga
mencoba untuk berpikir lebih jauh dan secara mendalam melibatkan diri ke dalam
pemikiran yang bermakna.
Akhir-akhir ini, Robert Roeser dan
Philip Zelazo (2012) menekankan bahwa mindfulness
merupakan proses mental yang penting bahwa anak-anak dapat bergerak untuk
meningkatkan beberapa kemampuan kognitif dan emosional, seperti fungsi
eksekutif, memusatkan atensi, regulasi emosi, dan empati. Telah diusulkan bahwa
latihan mindfulness dapat
dilaksanakan di sekolah melalui praktek seperti menggunakan age-appropriate activities yang meningkatkan refleksi anak-anak pada pengalaman
peristiwa demi peristiwa dan mengakibatkan peningkatan self-regulation.
Tambahan
lagi untuk mindfulness, aktivitas
seperti yoga, meditasi, dan tai chi
akhir-akhir ini telah disarankan sebagai kandidat untuk meningkatkan
perkembangan kognitif dan sosioemosional anak-anak. Aktivitas-aktivitas ini
sedang dikelompokkan di bawah topik contemplative
science, istilah cross-disciplinary
melibatkan pembelajaran bagaimana bermacam-macam tipe latihan mental dan fisik
mungkin menambah perkembangan anak-anak.
Thinking
Creatively
(Berpikir Kreatif)
Anak-anak yang kompeten secara
kognitif tidak hanya mampu berpikir kritis namun juga kreatif. Berpikir kreatif adalah kemampuan untuk
berpikir dengan cara-cara yang baru dan tidak biasa, serta menemukan
solusi-solusi yang unik terhadap masalah yang dihadapi. Dengan demikian,
inteligensi tidak sama dengan kreativitas. Perbedaan ini diketahui oleh J. P.
Guilford (1957), yang membedakan antara berpikir
konvergen (covergent thinking),
yang menghasilkan sebuah jawaban yang tepat dan ditandai dengan jenis berpikir
yang dapat diuji dengan tes inteligensi konvensional, dengan berpikir divergen (divergent thinking),
yang menghasilkan berbagai jawaban terhadap pertanyaan yang sama dan menandai
kreativitas. Sebagai contoh, sebuah item tipikal dari tes inteligensi adalah
“berapa banyak uang lima ribuan yang dapat anda peroleh jika ditukarkan dengan
60 uang lima ratusan?” sebaliknya, pertanyaan berikut ini dalam memiliki berbagai
jawaban: “Apa yang terbayang di benak anda ketika mendengar frase ‘duduk
sendirian di sebuah ruang yang gelap’ atau ‘apa saja kegunaan unik dari
penjepit kertas?’”
Perhatian khusus bahwa berpikir
kreatif anak-anak terlihat menjadi menurun. Studi mengenai sekitar 300.000
anak-anak dan orang-orang dewasa Amerika menemukan bahwa skor kreativitas
berkembang sampai 1990, tetapi sejak itu telah terus menerus menurun. Antara
lain penyebabnya seperti menurunkan beberapa jam untuk berkreativitas oleh anak-anak
Amerika, kemudian waktu tersebut dipakai untuk menonton televisi dan malah
bermain video games dari menarik kegiatan kreatif, serta kurangnya penekanan
pada kemampuan berpikir kreatif di sekolah. Sebagai contoh, sejarahnya,
berpikir kreatif telah tidak digunakan di sekolah Cina. Namun, pendidik Cina
sekarang mendorong para guru untuk menghabiskan jam kelas pada aktivitas
kreatif.
Kita
perlu mengenali bahwa anak-anak akan memperlihatkan kreativitas yang lebih
besar di sejumlah domain tertentu dibandingkan sejumlah domain lainnya. Sebagai
contoh, seorang anak yang memperlihatkan keterampilan berpikir kreatif di
bidang seni. Tujuan pentingnya adalah menjadikan anak-anak lebih kreatif.
Thinking
Scientifically (Berpikir Ilmiah)
Seperti halnya ilmuwan, anak-anak
mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai realitas dan mencari
jawaban terhadap persoalan yang sering kali tampak sederhana atau tidak dapat
dijawab oleh orang lain (seperti mengapa langit berwarna biru?). Apakah
anak-anak menghasilkan hipotesis, melakukan eksperimen, dan mencapai kesimpulan
tentang data mereka sebagaimana para ilmuwan?
Alasan ilmiah sering bertujuan saat
mengidentifikasi relasi kausal. Seperti ilmuwan, anak-anak ditempatkan di
sebuah tekanan yang banyak pada mekanisme kausal. Mereka mengerti bagaimana
peristiwa yang disebabkan beratnya lebih berat dalam kesimpulan kausal mereka
daripada bahkan seperti pengaruh besar sebagai apakah
penyebabnya terjadi sebelum efeknya.
Juga terdapat perbedaan penting
antara penalaran anak-anak dan penalaran ilmuwan. Sebagai contoh, anak-anak
kesulitan mendesain eksperimen yang dapat membedakan berbagai alternatif
penyebab. Anak-anak cenderung bias dalam eksperimen, sehingga menganggap eksperimen
itu mendukung apa pun hipotesis yang telah dibuat sebelumnya. Terkadang
anak-anak melihat hasil sebagai pendukung hipotesis awal, bahkan ketika hasil
sangat bertentangan dengan hipotesisnya.
Seringkali,
keahlian yang digunakan oleh para ilmuwan, seperti observasi yang teliti,
membuat grafik, meregulasi pemikirannya, serta mengetahui kapan dan bagaimana
menerapkan pengetahuan seseorang untuk menyelesaikan masalah, tidak diajarkan
di sekolah. Anak-anak memiliki banyak konsep yang tidak sejalan dengan sains
dan realitas. Guru yang baik menerima da memahami konsep ilmiah anak-anak itu,
kemudian menggunakan konsep itu sebagai penunjang pembelajaran. Pengajaran
sains yang efektif membantu anak-anak membedakan antara kesalahan (error) dan
konsep yang salah, dan mendeteksi ide-ide salahyag harus diganti dengan konsep
yang lebih akurat.
Metacognition (Metakognisi)
Metakognisi adalah kognisi mengenai
kognisi, atau mengetahui mengenai mengetahui (Flavell, 2004). Metakognisi
memiliki banyak bentuk, termasuk memikirkan dan mengetahui kapan dan dimana
menggunakan berbagai strategi untuk belajar atau memecahkan masalah. Konseptualisasi
dari metakognisi terdiri dari dimensi fungsi eksekutif, seperti perencanaan (
sebagai contoh, memutuskan bagaimana menghabiskan waktu untuk focus pada tugas)
dan self-regulasi (memodifikasi strategi seperti kerja pada saat proses tugas
berlangsung). Mayoritas studi yang diklasifikasikan sebagai “metakognisi”
berfokus pada metamemori, atau
pengetahuan mengenai memori. Metamori juga mencakup pengetahuan mengenai memori
diri kita sendiri.
Pada anak usia 5 hingga 6 tahun, anak-anak biasanya sudah
mengetahui bahwa item-item yang sudah dikenal akan lebih mudah dipelajari
dibandingkan item-item yang tidak
dikenal, bahwa daftar yang lebih pendek akan lebih mudah dibandingkan daftar
yang lebih panjang, bahwa mengenal lebih mudah dibandingkan mengingat kembali,
dan lupa akan lebih sering terjadi dengan bertambahnya waktu. Metamemori pada
anak juga masih terbatas. Mereka belum memahami bahwa item-item yang saling
berhubungan lebih mudah untuk diingat daripada item-item yang tidak berkaitan
satu sama lain.
Anak-anak juga memiliki pengetahuan yang terbatas
mengenai dirinya sendiri. Mereka sering berpikir bahwa mereka memiliki
kemampuan yang lebih pada memorinya. Namun, ketika anak memasuki masa sekolah
anak-anak akan berpikir lebih realistic terhadap kemampuan memori mereka.
Selain
metamemori, metakognisi juga mencakup pengetahuan mengenai strategi (White,
Fredrikson, & Collins, 2010). Dalam pandangan Michael Pressley (2003),
membantu anak memperkenalkan strategi membantu mereka memecahkan masalah. Dengan memecahkan masalah, anak memiliki
perencanaan yang lebih efektif, lebih peka terhadap situasi dan memiliki
pemahaman yang lebih baik.
KOSA-KATA, TATA-BAHASA, DAN KESADARAN METALINGUISTIK
Selama
masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, terjadi perubahan cara
mengorganisasikan kosa-kata secara mental. Ketika ditanya mengenai kata pertama
apa yang terpikir pada saat mendengar sebuah kata, anak-anak kecil biasanya
akan memberikan sebuah kata yang sering kali mengikuti kata tersebut di dalam
sebuah kalimat. Sebagai contoh, ketika diminta untuk merespons kata “anjing”,
anak kecil akan mengatakan “menggonggong” atau terhadap kata “makan” mereka
akan mengatakan “siang”. Sekitar 7 tahun, anak-anak mulai merespons sebuah kata
yang merupakan bagian dari kelompok kata dan sekaligus sebagai sebuah stimulus.
Sebagai contoh, anak akan merespons kata anjing
dengan “kucing” atau “kuda”. Untuk kata makan
mereka kini akan mengatakan “minum”. Hal ini memperlihatkan bahwa kini
anak-anak mulai melakukan kategorisasi kosa-kata mereka sebagai bagian dari
kelompok kata.
Proses
kategorisasi menjadi lebih mudah ketika anak-anak meningkatkan kosa-kata
mereka. Kosa-kata anak-anak meningkat dari rata-rata sekitar 14.000 kata di
usia 6 tahun menjadi rata-rata sekitar 40.000 kata di usia 11 tahun.
Anak-anak
membuat kemajuan yang serupa untuk tata-bahasa (Tager-Flusberg & Zukowski
dalam Santrock, 2015). Selama di sekolah dasar, kemajuan anak-anak di dalam
penalaran logis dan keterampilan analitis membantu mereka memahami konstruksi
seperti penggunaan yang tepat dari kata perbandingan (lebih pendek, lebih dalam) dan subjektif (“Seandainya kamu menjadi
presiden…”). Selama masa sekolah dasar, anak-anak makin memahami dan
menggunakan tata-bahasa yang kompleks, seperti pada kalimat berikut ini: Anak laki-laki yang mencium ibunya itu
memakai topi. Mereka juga belajar menggunakan bahasa dengan cara yang lebih
berkaitan satu sama lain, menghasilkan wacana yang berkaitan. Mereka mampu
mengaitkan kalimat yang satu dengan kalimat lainnya untuk menghasilkan
deskripsi, definisi, dan narasi yang masuk akal. Anak-anak harus mampu
mengerjakan ini secara lisan sebelum mereka mampu menyelesaikannya secara
tertulis.
Kemajuan
dalam kosa-kata dan tata-bahasa yang berlangsung selama masa sekolah dasar
disertai dengan perkembangan kesadaran
metalinguistik (metalinguistic awareness), di mana pengetahuan bahasa, seperti
pengetahuan mengenai preposisi atau kemampuan mendiskusikan bunyi bahasa.
Kesadaran metalinguistik memungkinkan anak-anak “memikirkan bahasa yang mereka
gunakan, pemahaman mengenai kata-kata, dan bahkan mendefinisikannya” (Berko
Gleason dalam Santrock, 2015).
Perkembangan bahasa anak sangat erat dengan
kegiatan membaca. Karena membaca adalah salah satu bentuk bahasa tulisan dengan
kosakata banyak dan membutuhkan pemahaman akan apa yang dibaca. Pada tabel
dibawah ini digambarkan ringkasan beberapa tonggak dalam perkembangan bahasa.
Tabel Tonggak Perkembangan Bahasa
PERIODE
UMUR
|
PERKEMBANGAN/PERILAKU ANAK
|
0 – 6 bulan
|
Sekedar
bersuara, membedahkan huruf hidup, berceloteh pada akhir periode
|
6- 12 bulan
|
Celoteh
bertambah dengan mencakup suara dari bahasa ucap, isyarat digunakan untuk
mengkomunikasikan suatu obyek
|
12- 18 bulan
|
Kata
pertama diucapkan, rata-rata memahami 50 kasakata
|
18 – 24 bulan
|
Kosakata
bertambah sampa
|
2 tahun
|
Kosakata
bertambah cepat, penggunaan bentuk jamak secara tepat, penggunaan kata lampau
(past tense), penggunaan beberapa preposisi atau awalan
|
3 – 4 tahun
|
Rata-rata
panjang ucapan naik dari 3 sampai 4 morfem per kalimat, mengunanakan
pertanyaan “ya” dan “tidak” dan pertanyaan mengapa “mengapa, dmana, siapa,
kapan”, menggunakan bentuk negative danperintah, pemahaman pragmatis
bertambah.
|
5 – 6 tahun
|
Kosakata
mencapai rata-rata 10.000 kata, koordinasi kalimat sederhana
|
6 – 8 tahun
|
Kosakata
terus bertambah cepat, lebih ahli menggunakan sintaksis, keahlihan bercakap
meningkat
|
9- 11 tahun
|
Definisi
kata mencakup sinonim, strategi berbicara terus bertambah
|
11 – 14 tahun
|
Kosakata
bertambah dengan kata-kata abstrak, pemahaman bentuk tata bahasa kompleks,
pemahaman fungsi kata dalam kalimat
|
15 – 20 tahun
|
Dapat
memahami karya sastra dewasa
|
Gambar 1. Perkembangan bahasa individu (Santrock
2010: 75)
MEMBACA
Sebelum belajar
membaca, anak-anak belajar menggunakan bahasa untuk membicarakan hal-hal yang
tidak terlihat; mereka mempelajari arti sebuah kata; mereka juga belajar
mengenali bunyi dan mendiskusikannya. Anak-anak yang memasuki sekolah dasar
dengan kosa-kata yang baik, diuntungkan ketika belajar membaca (Paris & Paris
dalam Santrock, 2015). Kosa-kata yang baik akan membantu pembaca mengetahui
makna kata dengan mudah (Beaty dan Cunningham dalam Santrock, 2015).
Sebelum belajar membaca anak belajar menggunakan
bahasa untuk berbicara mengenai hal-hal yang tidak ada, mereka belajar mengenai
apa itu kata, seperti mereka belajar bagaimana mereka mengenali bunyi dan
membahas tentang hal tersebut (Berko Gleason,2003 dalam Santrock 2011 :218)
Perkembangan kosakata memilik peranan penting dalam pemahaman
membaca (Berninger, 2006 dalam Santrock 2011 :218). Jika anak mengembangkan
kosakata yang luas maka langkah selanjutnya untuk membaca yang lebih ringan.
Anak yang memulai sekolah dasar dengan bekal kosakata yang tidak banyak akan
mengalami kesulitan ketika mereka belajar membaca.
Cara mengajar membaca pada anak terdiri dari dua pendekatan
yaitu pendekatan bahasa keseluruhan dan keterampilan dasar dan fonetik. Pendekatan
bahasa-keseluruhan (whole-language
approach) menekankan bahwa instruksi membaca seharusnya sejalan dengan
proses belajar bahasa yang natural pada anak-anak. Beberapa kelas yang
menggunakan pendekatan ini memulai pelajarannya dengan mengajarkan pembaca
mengenali keseluruhan kata atau bahkan seluruh kalimat, serta menggunakan
konteks dari yang mereka baca untuk menduga makna kata-katanya. Materi yang
dibaca sebaiknya menyeluruh dan bermakna – artinya, anak-anak diberi materi
dalam bentuk yang lengkap, seperti cerita dan puisi, sehingga mereka belajar
untuk memahami fungsi komunikasi dari bahasa. Kegiatan membaca sebaiknya
dikaitkan dengan kegiatan mendengarkan dam keterampilan menulis.
Sebaliknya, keterampilan fonetik (phonics approach) menekankan bahwa
instruksi membaca sebaiknya mengajarkan fonetik dan aturan-aturan dasar yang
dipakai untuk menerjemahkan simbol-simbol tertulis ke dalam bunyi. Instruksi
membaca di tahap awal sebaiknya menggunakan materi-materi yang sederhana.
Setelah anak-anak belajar persesuaian aturan yang mengaitkan fonem-fonem yang
diucapkan dengan huruf-huruf alfabet yang digunakan untuk melambangkan
pengucapannya, maka mereka sebaiknya diberi materi bacaan, seperti buku dan
puisi (Cunningham & Allington, Rasinski & Padak dalam Santrock, 2015).
Rich Mayer (2008) baru-baru ini
menjelaskan tiga proses kognitif yang terlibat agar dapat membaca tulisan:
1. Memahami
unit-unit suara dalam kata-kata, yang mencakup pemahaman fonem.
2. Mengkodekan
kembali kata-kata, yang mencakup pengubahan kata-kata tertulis menjadi suara.
3. Mengakses
arti kata, dengan membayangkan representasi dari sebuah kata.
Menurut
Chall (1979, 1992) membaca berkembang melalui lima tahap. Batas usia tidak
bersifat kaku dan tidak berlaku untuk setiap siswa. Misalnya beberapa murid
belajar membaca sebelum masuk kelas 1. Tahap-tahap ini memberikan pemahaman
umum mengenai perubahan developmental dalam proses belajar membaca:
1. Tahap 0 : dari kelahiran sampai grade 1, anak menguasai beberapa
prasyarat untuk membaca. Banyak yang menguasai cara dan aturan membaca,
mengidentifikasi huruf, dan cara menulis namanya sendiri. Beberapa anak belajar
membaca kata-kata yang biasanya muncul bersama tanda simbol.
2. Tahap 1 : di grade 1 dan 2, banyak anak mulai belajar membaca.
Mereka belajar dengan menggunakan kata-kata (yakni, menyuarakan huruf atau
sekelompok huruf dan membentuk ucapan kata). Dalam tahap ini, mereka juga mampu
menguasai penulisan dan pengucapan huruf.
3. Tahap 2: di grade 2 dan 3, anak makin lancar dalam membaca. Akan
tetapi, pada tahap ini, membaca masih belum banyak digunakan untuk belajar.
Mereka disibukkan oleh tugas membaca sehingga anak tidak punya banyak energi
untuk memahami isi bacaannya.
4. Tahap 3 : di grade 4 sampai 8, anak mampu mendapatkan informasi
dari bacaannya. Dengan kata lain, mereka belajar membaca. Mereka masih
kesulitan memahami informasi yang diberikan dari beragam perpekstif dalam teks
yang sama. Anak yang pada tahap ini belum mampu menguasai keahlian
membaca, mereka akan mengalami kesulitan serius dalam bidang akademik.
5. Tahap 4 : banyak murid yang telah menjadi pembaca yang
kompeten. Mereka mampu memahami materi tertulis dari bebrbagai perspektif. Hal
ini membuat mereka terkadang terlibat dalam diskusi yang lebih maju dalam
pelajaran sastra, sejarah, ekonomi, dan politik. Bukan kebetulan bahwa
novel-novel baru diberikan pada masa ini, karena pemahaman terhadap novel
membutuhkan pemahaman membaca yang canggih. (Santrock, 2010: 421)
MENULIS
Ketika anak-anak mulai menulis, anak-anak sering kali
menciptakan ejaan. Orang tua dan guru seharusnya mendukung pembelajaran menulis
anak-anak, namun tidak perlu terlalu memedulikan pembentukan kata atau
pengejaan. Mengoreksi pengucapan dan penulisan harus dilakukan secara selektif
dan positif sehingga tidak mematahkan semangat menulis anak.
Seperti halnya menjadi pembaca yang baik, menjadi penulis
yang baik memerlukan waktu bertahun-tahun dan banyak sekali latihan. Anak-anak
harus memperoleh kesempatan menulis yang banyak. Ketika keterampilan berbahasa
dan kognitif mereka meningkat dengan intruksi yang baik, demikian pula dengan
keterampilan menulisnya. Sebagai contoh, membangun pemahaman yang lebih rumit
terhadap sitaks dan tata bahasa menjadi dasar bagi penulisan yang lebih baik.
Demikian pula keterampilan kognitif sebagai penalaran yang logis dan teratur.
Melalui pelatihan di masa sekolah, para siswa mengembangkan metode-metode yang
rumit untuk mengorganisasikan ide-ide mereka.
Kompetensi
menulis siswa saat ini semakin diperhatikan. Salah satu penelitian mengungkap
bahwa 70 hingga 75 persen siswa AS di kelas 4 hingga 12 adalah penulis dengan
prestasi yang rendah. Pelatih di universitas melaporkan bahwa 50 persen lulusan
sekolah menengah atas tidak dapat menulis dengan level mahasiswa.
BILINGUALISME DAN MEMPELAJARI
BAHASA KEDUA
Apakah ada
periode sensitive dalam mempelajari bahasa kedua? Yaitu, jika seseorang ingin
mempelajari bahasa kefua, seberapa pentingkah usia di mana ia mulai
mempelajarinya? Apakah cara terbaik untuk mengajar anak-anak yang tidak
menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa utama?
Mempelajari Bahasa Kedua
Selama bertahun-tahun, dikatakan bahwa jika seseorang
tidak mempelajari bahasa kedua sebelum masa pubertas, ia tidak akan pernah
mencapai kelancaran berbahasa untuk bahasa kedua (Johnson & Newport, 1991).
Bagi pembelajar bahasa seperti remaja dan dewasa, kosa kata baru lebih mudah
dipelajari daripada suara atau tata bahasa baru.
Bilingualisme (bilingualism) adalah
suatu kemampuan untuk berbicara dengan dua bahasa. Bilingualism memiliki efek positif bagi perkembangan kognitif anak.
Anak-anak yang fasih dalam dua bahasa performanya lebih baik dibandingkan
teman-temannya yang hanya menguasai satu bahasa, dalam uji mengendalikan
atensi, pembentukan konsep, penalaran analistis, fleksibilitas kognitif, dan
kompleksitas kognitif. Ulasan penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak dengan
dua bahasa memiliki tingkat kefasihan yang lebih rendah (misalnya kosa kata
yang lebih sedikit) daripada anak-anak dengan satu bahasa.
Pendidikan Bilingual
Bagaimana cara terbaik untuk mengajar anak-anak ini?
Selama dua decade terakhir, strategi yang dipilih adalah pendidikan bilingual
(bilingual education), yang mengajarkan subjek-subjek akademik kepada anak-anak
imigran dalam bahasa asal sembari mengajarkan bahasa inggris secara perlahan. Para pendukung pendidikan ini
menyatakan bahwa seandainya anak-anak yang tidak mengenal bahasa inggris
diajari hanya dalam bahasa inggris, mereka akan jauh tertinggal pelajarannya.
Mereka juga mempertanyakan kemungkinan seorang anak berusia 7 tahun belajar
aritmatika atau sejarah yang diajarkan dalam bahasa inggris padahal mereka
tidak berbicara dalam bahasa itu.
Bagaimana hasil program pendidikan bilingual yang
ditemukan oleh para peneliti? Mengambil kesimpulan mengenai efektivitas program
pendidikan bilingual merupakan sesuatu yang sulit karena di sepanjang tahun
terdapat variasi di sejumlah program-program ini dalam hal efek, tipe
instruksi, kualitas sekolah di samping pendidikan bilingual, guru, anak0anak,
serta berbagai faktor lainnya. Di samping itu di Amerika Serikat tidak ada
studi eksperimen yang secara efektif dapat membandngkan pendidikan bilingual
dengan pendidikan yang hanya menggunakan bahasa inggris.
Riset
mendukung pendidikan bilingual dalam hal (1) anak-anak mengalami kesulitan
dalam mempelajari sebuah subjek seandainya materi tersebut diajarkan dalam
bahasa yang tidak mereka pahami, dan (2) ketika kedua bahasa diintegrasikan di
dalam kelas, anak-anak akan belajar bahasa kedua dengan lebih siap dan lebih bersedia
berpartisipasi secara aktif.
KASUS
Sumber:
http://sp.beritasatu.com/News/2006/12/24/Psikolog/psiko.htm
Sebut
saja namanya Denny, bocah berusia delapan tahun. Di sekolah, anak ini tidak
hanya lincah, tetapi juga mudah bergaul dengan siapa saja. Namun Denny sering
membuat ayah dan ibunya bingung karena tingkah-laku dan cara berpikir yang
berbeda. Denny memiliki sikap pelupa, tidak suka membaca, sulit mengeja, dan
lemah memahami konsep dalam subjek matematika dan sering tidak memahami apa
yang dibacanya.
Orangtua
Denny mendapat laporan dari guru bahwa anak itu sulit menghafal abjad, susah
menghafal nama hari sesuai urutannya, dan sulit menulis. Abjad ditulisnya tidak
sesuai dengan pembentukan benar. Dia juga sering keliru menulis huruf b dan d,
p dan q. Huruf z, j, dan g, sering ditulis terbalik. Akhirnya Denny belum dapat
membaca dengan lancar, meskipun sudah naik kelas. Tetapi di balik itu, dia
fasih berbicara dan sering memberikan ide menarik. Ia lebih senang mendengar
cerita yang dibacakan guru, dibanding membaca.
Ketika
ditanya kenapa ia tidak mau membaca, Denny mengatakan saat membuka buku ia
melihat huruf yang ada di dalamnya campur-aduk, sehingga kata-katanya tidak
jelas. Akhirnya diketahui Denny mengalami disleksia. Belajar dari
pengalaman Denny, biasanya sebagian orangtua cemas ketika melihat anaknya
lamban, terutama saat membaca dan menulis. Orangtua umumnya langsung mengklaim
anaknya memiliki kekurangan inteligensia. Padahal ketika si anak kesulitan
dengan kata-kata, baik saat membaca atau menulis, serta menerangkan sesuatu,
kemungkinan si anak mengalami disleksia.
Hasil diskusi kelompok :
Menurut
kelompok kami, pendekatan yang sebaiknya digunakan untuk mengajari anak membaca
adalah keterampilan fonetik (phonics
approach) yaitu mengajarkan fonetik dan aturan-aturan dasar yang dipakai
untuk menerjemahkan simbol-simbol tertulis ke dalam bunyi karena disleksia memiliki
masalah yang berhubungan dengan kata dan simbol tulisan. Instruksi membaca di
tahap awal sebaiknya menggunakan materi-materi yang sederhana. Seperti
mengajarkan anak untuk memanipulasi fonem dengan huruf, memfokuskan instruksi
pada satu atau dua jenis manipulasi fonem, Setelah anak-anak belajar
persesuaian aturan yang mengaitkan fonem-fonem yang diucapkan dengan
huruf-huruf alfabet yang digunakan untuk melambangkan pengucapannya, maka
mereka sebaiknya diberi materi bacaan, seperti buku dan puisi.
Dari kasus yang
telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Denny
mengalami disleksia. Yang unik, sebagian besar penderita disleksia adalah
kaum lelaki, seperti Denny. Disleksia merupakan salah satu bentuk dari
Learning Disabilities (LD). Disleksia
berasal dari bahasa Yunani, ‘‘dys’‘ yang artinya sulit, dan ‘‘lex’‘ yang
berarti berbicara.
Disleksia tidak
disebabkan oleh kelainan fisik ataupun mental, karena si penderita memiliki
kemampuan intelegensi yang normal. Hanya saja, ia memiliki masalah yang
berhubungan dengan kata dan simbol tulisan. Sehingga ia terus menerus melakukan
kesalahan dalam membaca, menulis, mengeja dan terkadang matematika dan notasi
musik. Bentuk klinis disleksia itu bermacam-macam, diantaranya sulit menyebut
nama benda yang sangat sederhana, padahal anak itu mengenal betul benda
tersebut seperti pensil, buku, sepatu dll. Gangguan lain bisa juga dalam
kemampuan menulis huruf, misalnya "p" ditulis "q", atau
"d" ditulis "b".
Disleksia tidak
sama dengan penyandang cacat mental. Seorang anak yang mengalami disleksia
murni, dalam arti mengalami suatu gangguan perkembangan spesifik pada tahap
usia tertentu, dengan pertumbuhan otak dan sel otaknya yang sudah mulai
sempurna, ia akan dapat mengatasi gangguan disleksianya.
Pada
umumnya anak yang mendapat gangguan disleksia mempunyai tingkat
intelegensi yang normal, bahkan ada yang mempunyai tingkat intelegensi di atas
normal. Jadi jangan menganggap bahwa anak yang menderita gangguan
disleksia itu berarti anak yang bodoh atau terbelakang. Yang terpenting
ketika ditemukan disleksia pada seorang anak, berilah terapi sedini mungkin
yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketelatenan Khusus untuk penderita disleksia yang
disertai gangguan penyerta, dalam proses terapinya ditambah dengan terapi
perilaku.
PENANGANAN :
Ada
banyak hal yang dapat kita lakukan dalam menyikapi anak-anak yang mengalami
disleksia. Karena disleksia bukanlah penyakit yang dapat sembuh dengan meminum
obat-obatan, melalui metode belajar khusus, dukungan dan kesabaran orang tua
maupun para pendidik, anak yang menderita disleksia akan dapat mengatasi
kesulitan baca tulisnya sehingga ia lebih percaya diri dan termotivasi baik.
Karena itu, orang tua maupun para pendidik sangat berperan dimana keduanya
merupakan pihak sangat sering berinteraksi dengan anak-anak yang mengalami
disleksia tersebut. Tatalaksana disleksia diarahkan pada kehidupan penderita.
Pada anak yang masih kecil tatalaksana diarahkan pada perbaikan. Setelah anak
semakin besar maka tatalaksana diarahkan pada proses adaptasi.
a. Orang
Tua
Yang harus dilakukan orang tua adalah
mengenali gangguan tersebut sejak dini dan membantu anak mengatasi kesulitan
baca tulisnya, meskipun sayangnya, tak banyak orang tua yang dapat langsung
mendeteksi gangguan disleksia pada anaknya sehingga label malas, susah
berkonsentrasi bahkan bodoh diberikan kepada anaknya. Selain itu orang tua
dapat memberikan umpan balik berupa reward
kepada anaknya apabila anaknya telah mencapai suatu kemajuan dengan dapat
mengatasi kesulitan yang dihadapinya.
b. Pihak
Pendidik
Anak
dengan disleksia yang disekolahkan bersama dengan anak-anak normal dapat
membuat mereka merasa "bodoh" sebab mereka tidak dapat keluar dari
permasalahan itu. Selanjutnya mereka gagal naik kelas, menutup diri dan
frustasi. Para pendidik ditekankan untuk mengidentifikasi ketidakmampuan
belajar sedini mungkin, sehingga anak dapat diberikan pendidikan alternatif dan
dapat menjadi anak yang berprestasi pula disekolahnya. Memang banyak anak-anak
dengan disleksia dapat belajar dan diijinkan masuk di kelas reguler, namun
mereka haruslah mendapatkan lingkungan yang baik dan mendukung, menyediakan
pengajar yang mengerti dan ahli yang dapat memberikan intervensi.
Program
intervensi yang diberikan merupakan faktor-faktor penting dalam membaca
yaitu mengajarkan anak untuk memanipulasi fonem dengan huruf, memfokuskan
instruksi pada satu atau dua jenis manipulasi fonem, pola pengajaran dalam
kelompok kecil, dan instruksi yang sistematis dan eksplisit. Intervensi yang
efektif akan mengajarkan anak untuk mengerti bagaimana huruf berhubungan dengan
suara dari huruf tersebut serta pola mengeja, selain itu mereka harus diberi
audiotaping saat belajar atau lembaran text, menggunakan flashcard atau kartu pengingat untuk mampelajari sesuatu yang baru,
selalu tempatkan anak tersebut posisi depan bila dikelas sehingga pengajar
dapat memantau dengan baik dan menggunakan komputer untuk mengeja dan memeriksa
tata bahasanya.
Para
penderita disleksia dapat diajarkan untuk mengikuti latihan seperti berdiri di
atas papan bergoyang, melempar kantung dan mengayunkan bola selama sepuluh
menit dua kali sehari. Kemampuan mereka memang mengalami peningkatan, terutama
dalam hal membaca, sains dan matematika, subjek pelajaran yang kerap kurang
mampu dipahami penderita disleksia.
DAFTAR PUSTAKA
King, L. A. (2012). Psikologi Umum Sebuah
Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika.
Santrock, J.W. (2010). Psikologi pendidikan. Edisi kedua. Jakarta: Kencana prenada media group
Santrock, J.W. (2011). Masa Perkembangan Anak. Buku 2
Edisi 11.
Jakarta:Salemba Humanika
Santrock, J. W. (2012). Life Span Development.
Jakarta: Erlangga.