Tuesday 25 August 2015

PERKEMBANGAN KOGNITIF PADA MASA KANAK-KANAK TENGAH DAN AKHIR

PIAGET’S COGNITIVE DEVELOPMENTAL THEORY
Menurut Piaget (1952) masa kanak-kanak adalah masa praoperasional. Anak-anak prasekolah membentuk konsep yang stabil, dan mereka memulainya dari akal, tetapi pikiran mereka rusak karena egosentris dan sistem kepercayaan magis.
The Concrete Operational Stage
Piaget mengemukakan bahwa tahap operational concrete terbentuk kira-kira pada usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, anak-anak dapat melakukan operasi konkrit, dan berpikir secara logika selama dapat diaplikasikan secara spesifik ataupun contoh yang spesifik. Ingat bahwa operasi adalah tindakan mental yang bersifat reversibel, dan operational concrete dapat diaplikasikan secara nyata, benda-benda konkrit.
Sesuai dengan contoh bab 7 mengenai operational concrete dimana sebuah 2 bola lilin dibentuk dalam bentuk yang berbeda tetapi tetap memiliki jumlah yang sama. Bola pertama dibentuk tipis dan yang kedua dibentuk tetap. Anak-anak pada usia kanak-kanak awal mengatakan bahwa yang berbentuk tipis lebih banyak daripada yang berukuran bulat, sedangkan anak-anak masa akhir mengatakan keduanya memiliki jumlah yang sama. Untuk menjawab permasalahan secara tepat, anak- anak harus mengimajinasikan lilin tersebut di rolling menjadi bulat. Tipe imajinasi ini melibatkan action mental reversible ke realita dan objek konkret. Concrete operations memungkinkan anak untuk mempertimbangkan beberapa karakterisktik daripada berfokus pada satu dari obyek tersebut. Pada contoh lilin tersebut, anak – anak hanya berfokus pada tinggi dan lebar dari benda sedangkan pada anak – anak concrete preoperational mendapatkan informasi dari kordinat dari berbagai dimensi.
Selanjutnya, apa kemampuan lain yang dapat diraih oleh anak-anak pada tahap praoperasional? Salah satu keterampilan penting adalah kemampuan untuk mengklasifikasikan atau membagi sesuatu ke dalam set yang berbeda dan subset dan mempertimbangkan keterkaitan mereka.
Anak yang telah mencapai tahap concrete operational juga mampu dalam seriation, dimana kemampuan tersebut mampu menstimulasi sepanjang dimensi kuantitatif (contohnya panjang). Seperti contoh, seorang guru meletakkan 8 buah tongkat dalam ukuran panjang yang berbeda dan guru meminta mereka untuk mengurutkannya. Namun, anak –anak mengurutkannya berdasarkan ukuran ‘besar’ dan ‘kecil’ daripada mengurutkannya sesuai ukuran. Seharusnya pengurutannya berdasarkan dari pendek ke panjang.
Aspek lain dari reasoning tentang hubungan antar kelas disebut transitivity, dimana transitivity ini adalah kekampuan logika untuk mengkombinasikan hubungan untuk mendapatkan kesimpulan tertentu. Seperti contoh kasus, diberikan 3 buah tongkat (A, B, dan C) yang memiliki panjang yang berbeda. A adalah terpanjang, B ukuran sedang, dan C yang terpendek. Apakah anak-anak mengerti bahwa A lebih panjang daripada B dan B lebih panjang dari C, kemudian A lebih panjang daripada C? Dalam teori Piaget, concrete operational berpikir hal demikian sedangkan pemikir preoperational tidak.
Evaluating Piaget’s Concrete Operational Stage
Menurut Piaget, aspek yang berbeda pada tiap tahap dapat muncul dalam waktu yang bersamaan. Faktanya, bagaimanapun kemampuan concrete operational tidak dapat muncul secara sinkron. Sebagai contoh, anak-anak tidak dapat belajar pengawetan secara bersamaan dengan belajar klasifikasi silang.
Sejauh ini, edukasi dan budaya memiliki pengaruh yang kuat dalam perkembangan anak daripada apa yang Piaget kemukakan.
Neo-Piagetions berpendapat bahwa apa yang dikatakan Piaget adalah benar tetapi beberapa teorinya memerlukan perbaikan. Mereka memberikan beberapa tekanan bagaimana anak menggunakan atensi, memori dan strategi untuk memproses informasi.
INFORMATION PROCESSING
            Menganalisis tipe-tipe pemikiran yang diperlihatkan anak-anak, kita akan menelaah cara mereka menangani informasi selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir. Selama masa ini, sebagian besar anak memperlihatkan kemajuan yang dramatis dalam mempertahankan dan mengendalikan atensi. Mereka lebih banyak menaruh perhatian pada stimuli yang relevan dengan tugas dibandingkan stimuli yang menonjol. Perubahan-perubahan lain dalam pemrosesan informasi selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir ini mencakup memori, pemikiran, dan metakognisi.
Memory
Merupakan penyimpanan informasi seiring dengan berjalannya waktu melalui proses  pengodean, penyimpanan dan pengambilan. Dan berikut adalah tiga tahapan ingatan :
A.    Encoding Memori
Sebuah proses saat informasi mask ke dalam penyimpanan ingatan. Hal-hal yang harus diperhatikan saat proses encoding seperti: atensi, tingkat pemrosesan (dangkal, menengah, dan dalam), elaborasi dan imajinasi.
B.     Penyimpanan Memori
Mencakup bagaimana informasi diperhatikan seiring dengan waktu dan bagaimana informasi direpresentasikan dalam ingatan. Atkinson-Shriffrin theory  menyatakan bahwa ada tiga sistem penyimpanan: sensoris, jangka pendek dan jangka panjang.
C.     Pengembalian Kembali Memori
Proses ingatan ketika mengeluarkan informasi dari penyimpanan. Pada tahapan ini terdapat, serial position effect, isyarat retrieval dan tugas retrieval.

Pada masa kanak-kanak awal, proses memori jangka pendek lebih unggul. Sedangkan  pada masa kanak-kanak pertengahan yang berkembang adalah memori jangka panjang. Memori jangka panjang (long-term memory), ingatan yang relatif permanen dan merupakan tipe ingatan  yang tidak terbatas, meningkat seiring dengan bertambahnya usia di masa kanak-kanak pertengahan dan akhir. Dalm beberapa hal, kemajuan dalam ingatan ini mencerminkan meningkatnya pengetahuan anak-anak dan meningkatnya kemampuan mereka dalam menggunakan strategi-strategi.
Pengetahuan dan Keahlian
Banyak riset mengenai peran pengethuan terhadap memori melakukan perbandingan antara pengetahuan ahli dan pemula. Para ahli memiliki pengetahuan ysng luas mengenai bidang tertentu; pengetahuan ini memengaruhi apa yang meeka perhatikan serta bagaimana mereka mengorganisasi, memyajikan, dan menginterpretasikan informasi. Hai ini akan memneri pengaruh pada kemampuan mereka untuk mengingat, bernalar, dan memecahkan masalah. Misalnya, anak-anak berusia 10-11 tahun yang berpengalaman sebagai pemain catur mampu mengingat lebih banyak informasi mengenai seluk-beluk catur dibandingkan dengan para mahasiswa yang masih menjadi pemula dibidang catur. Tetapi, jika mahasiswa tadi diberi stimuli lain, mereka mengingat lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang menjadi pemain catur tersebut. Oleh karena itu, keahlian anak-anak dalam hal catur member ingatan superior, tapi hanya pada bidang itu saja.
Anak-anak yang lebih tua biasanya memiliki banyak keahlian mengenai sebuah subjek dibandingkan anak-anak kecil, dimana hal ini berkontribusi terhadap ingatan yang lebih baik untuk subjek itu.

Strategi

Memori jangka panjang tergantung pada aktivitas belajar yang dilakukan invidu ketika mempelejari dan mengingat informasi. Strategi sendiri terdiri dari aktivitas mental yang disengaja untuk meningkatkan pemrosesan informasi. Berikut merupakan beberapa strategi yang efektif digunakan oleh orang dewasa dalam meningkatkan keterampilan memori anak:

·      Mendorong anak-anak untuk melakukan pencitraan-bayangan (mental imagery).
Hal ini dapat membantu mengingat gambar-gambar, bahkan untuk anak-anak kecil sekalipun. Nemun, untuk mengingat informasi verbal, pencitraan bayangan bisa dilakukan secara lebih baik oleh anak-anak yang lebih besar dibandingkan anak kecil.

·      Memotivasi anak-anak untuk mengingat sesuatu sesuatu dengan memahami alih-alih mengingatnya.
Anak-anak akan mengingat informasi secara lebih baik untuk waktu yang lama jika mereka memahami informasi daripada hanya menghapal dan melatihnya. Latihan berfungsi dengan baik untuk mengkodekan informasi dari memori jangka panjang, namun ketika anak-anak perlu mengambil informasi dari memori jangka panjang, latihan akan kurang efisien. Sebagian besar informasi memerlukan pemahaman bagi anak-anak, memberikan arti, mengelaborasi, serta mempersonalisasikannya. Berikan konsep dan ide untuk mengingat kepada anak-anak kemudian tanyakan bagaimana mereka dapat menghubungkan konsep dan ide tersebut dengan pengalaman pribadi mereka, sehingga mereka akan memroses informasi secara lebih dalam.

·      Ulangi dengan variasi terhadap informasi instruksi serta kaitkan sedari awal dan lakukan sering kali.

·      Ini direkomendasi ahli perkembangan memori, Patricia Bauer (2009b), untuk meningkatkan konsolidasi dan rekonsolidasi anak-anak terhadap informasi yang mereka pelajari. Variasi dalam tema pelajaran meningkatkan jumlah kumpulan penyimpanan memori serta cakupan jaringannya; kedua strategi ini memperluas cara pengambilan informasi dan penyimpanan.

·      Menambahkan bahasa yang relevan dengan memori ketika member instruksi pada anak-anak.
Dalam penelitian terbaru dengan observasi ekstentif terhadap sejumlah guru kelas satu sekolah dasar, Peter Ornstein dan koleganya menemukan bahwa ketika di observasi, para guru jarang menggunakan pertanyaan usulan strategi atau metakognitif. Dalam penelitian ini, ketika siswa dengan pencapaian prestasi rendah ditempatkan diruang kelas di mana guru dikategorikan sebagai “guru dengan hapalan tinggi”, guru itu menambahkan informasi yang relevan dengan memori dakam pengajarannya, prestasi siswa itu meningkat.

Fuzzy Trace Theory

Menyatakan bahwa ingatan paling baik dapat dipahami jika mempertimbangkan dua tipe representasi ingatan:
1.      Jejak ingatan verbatim (verbatime memory trace)
2.      Intisari (gist)

            Verbatim memory trace terdiri dari detail-detail yang tepat memgenai informasi. Sementara gist, merujuk pad aide inti mengenai informasi. Ketika gist digunakan, maka fuzzy traces akan dibangun. Meskipun individu di semua usia menyaring gist, anak-anak kecil cenderung menyimpan dan mengeluarkan kembali verbatim traces. Sampai titik tertentu di masa sekolah dasar, anak-anak mulai banyak menggunakan gist, dan menurut teori ini, hal ini dapat meningkatkan ingatan dan penalaran anak-anak yang lebih tua karena fuzzy traces dapat bertahan lebih lama dan tidak mudah dilupakan sepertu verbatim traces.
Thinking
Empat aspek penting dari berpikir adalah executive function (fungsi eksekutif), critical thinking (berpikir kritis), thinking creatively (berpikir kreatif), dan thinking scientifically (berpikir ilmiah).
Executive Function (Fungsi Eksekutif)
            Beberapa topik kognitif seperti cara kerja memori, berpikir kritis, berpikir kreatif, dan metakognisi dapat dianggap bagian dari fungsi eksekutif dan terkait untuk pengembangan korteks prefrontal otak dan juga mencakup perkembangan otak pada masa kanak-kanak tengah dan akhir, kita telah mengetahui bagaimana cara meningkatkan kontrol kognitif, dimana melibatkan kontrol efektif dan fleksibel di beberapa area seperti memfokuskan atensi, mengurangi pikiran yang bercampur, menghambat perilaku motorik, dan melatih kefleksibelan dalam memutuskan antara memilih persaingan.
            Adele Diamond dan Kathleen Lee (2011) mengatakan mengenai fungsi eksekutif, mereka menyimpulkan 3 hal yang paling penting untuk anak berusia 4 sampai 11 tahun dalam perkembangan kognitif dan kesuksesan sekolah :
·         Self-control/inhibition
Anak-anak butuh untuk mengembangkan self-control yang akan membuat mereka dapat berkonsentrasi dan gigih dalam pembelajaran tugasnya, untuk menghindari kecenderungan mereka mengulangi respon yang salah, dan untuk menolak impuls melakukan sesuatu sekarang yang nanti akan mereka sesali.
·         Working memory
Anak-anak butuh kinerja otak yang efektif untuk kinerja mental dengan massa informasi yang akan mereka hadapi saat sekolah dan di luar sekolah.

·         Flexibility
Anak-anak butuh kefleksibelan dalam pikiran mereka untuk mempertimbangkan perbedaan strategi dan perspektif.
            Peneliti menemukan bahwa fungsi eksekutif adalah prediktor kesiapan sekolah yang lebih baik daripada IQ umum. Beberapa perbedaan aktivitas yang telah ditemukan untuk meningkatkan fungsi eksekutif otak, seperti mengatur latihan menggunakan permainan untuk meningkatkan kinerja otak, latihan aerobic, mindfulness (waspada, penuh perhatian, dan fleksibel secara kognitif dalam menjalani aktivitas dan tugas sehari-hari), dan beberapa tipe kurikulum sekolah. Dipercaya bahwa fungsi eksekutif dan kemampuan pola pengasuhan yang baik itu berhubungan. Ketika kita melihat anak-anak dengan fungsi eksekutif yang baik, kita sering melihat orang-orang dewasa disekitarnya yang memiliki self-regulator yang baik.
Critical Thinking (Berpikir Kritis)
            Saat ini, para psikolog dan pendidik cukup tertarik pada cara berpikir kritis. Berpikir kritis mencakup kegiatan berpikir secara reflektif dan produktif serta mengevaluasi fakta. Menurut Ellen Langer (2005), rasa mindfulness (waspada, penuh perhatian, dan fleksibel secara kognitif dalam menjalani aktivitas dan tugas sehari-hari) merupakan aspek yang penting dari berpikir kritis. Anak-anak dan orang dewasa yang penuh perhatian mempertahankan kewaspadaan lingkungan kehidupannya dan termotivasi untuk menemukan solusi terbaik terhadap tugas-tugas. Individu-individu yang penuh perhatian menciptakan ide-ide baru, terbuka terhadap informasi baru, dan beroperasi dengan perspektif tunggal.
            Jacquelme dan Matin Brooks (2001) mengeluh karena hanya terdapat beberapa sekolah yang benar-benar mengajarkan para siswanya untuk berpikir kritis dan mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai konsep. Pemahaman yang dalam dapat terjadi jika para siswa dirangsang untuk memikirkan kembali ide-ide yang sebelumnya telah mereka miliki. Di dalam pandangan Brooks dan Brooks, sekolah terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meminta para siswa memberikan sebuah jawaban yang benar melalui cara imitatif, dan juga mendorong mereka memperluas pemikiran dengan berbagai ide baru dan memikirkan kesimpulan yang sebelumnya telah diperoleh. Mereka mengamati para gutu sering meminta siswa-siswa untuk menceritakan kembali, mendefinisikan, mendeskripsikan, menyatakan, dan membuat daftar, dan juga menganalisis, menyimpulkan, mengaitkan, menyintesakan, mengkritisi, menciptakan, mengevaluasi, memikirkan, dan memikirkan kembali. Banyak siswa yang mampu menyelesaikan tugas-tugasnya, mengerjakan tes dan memperoleh nilai yang baik, namun mereka tidak pernah belajar untuk berpikir secara kritis dan mendalam. Mereka berpikir secara superfisial, tetap berada pada permukaan masalah dan juga mencoba untuk berpikir lebih jauh dan secara mendalam melibatkan diri ke dalam pemikiran yang bermakna.
            Akhir-akhir ini, Robert Roeser dan Philip Zelazo (2012) menekankan bahwa mindfulness merupakan proses mental yang penting bahwa anak-anak dapat bergerak untuk meningkatkan beberapa kemampuan kognitif dan emosional, seperti fungsi eksekutif, memusatkan atensi, regulasi emosi, dan empati. Telah diusulkan bahwa latihan mindfulness dapat dilaksanakan di sekolah melalui praktek seperti menggunakan age-appropriate activities yang meningkatkan refleksi anak-anak pada pengalaman peristiwa demi peristiwa dan mengakibatkan peningkatan self-regulation.
            Tambahan lagi untuk mindfulness, aktivitas seperti yoga, meditasi, dan tai chi akhir-akhir ini telah disarankan sebagai kandidat untuk meningkatkan perkembangan kognitif dan sosioemosional anak-anak. Aktivitas-aktivitas ini sedang dikelompokkan di bawah topik contemplative science, istilah cross-disciplinary melibatkan pembelajaran bagaimana bermacam-macam tipe latihan mental dan fisik mungkin menambah perkembangan anak-anak.
Thinking Creatively (Berpikir Kreatif)
            Anak-anak yang kompeten secara kognitif tidak hanya mampu berpikir kritis namun juga kreatif. Berpikir kreatif adalah kemampuan untuk berpikir dengan cara-cara yang baru dan tidak biasa, serta menemukan solusi-solusi yang unik terhadap masalah yang dihadapi. Dengan demikian, inteligensi tidak sama dengan kreativitas. Perbedaan ini diketahui oleh J. P. Guilford (1957), yang membedakan antara berpikir konvergen (covergent thinking), yang menghasilkan sebuah jawaban yang tepat dan ditandai dengan jenis berpikir yang dapat diuji dengan tes inteligensi konvensional, dengan berpikir divergen (divergent thinking), yang menghasilkan berbagai jawaban terhadap pertanyaan yang sama dan menandai kreativitas. Sebagai contoh, sebuah item tipikal dari tes inteligensi adalah “berapa banyak uang lima ribuan yang dapat anda peroleh jika ditukarkan dengan 60 uang lima ratusan?” sebaliknya, pertanyaan berikut ini dalam memiliki berbagai jawaban: “Apa yang terbayang di benak anda ketika mendengar frase ‘duduk sendirian di sebuah ruang yang gelap’ atau ‘apa saja kegunaan unik dari penjepit kertas?’”
            Perhatian khusus bahwa berpikir kreatif anak-anak terlihat menjadi menurun. Studi mengenai sekitar 300.000 anak-anak dan orang-orang dewasa Amerika menemukan bahwa skor kreativitas berkembang sampai 1990, tetapi sejak itu telah terus menerus menurun. Antara lain penyebabnya seperti menurunkan beberapa jam untuk berkreativitas oleh anak-anak Amerika, kemudian waktu tersebut dipakai untuk menonton televisi dan malah bermain video games dari menarik kegiatan kreatif, serta kurangnya penekanan pada kemampuan berpikir kreatif di sekolah. Sebagai contoh, sejarahnya, berpikir kreatif telah tidak digunakan di sekolah Cina. Namun, pendidik Cina sekarang mendorong para guru untuk menghabiskan jam kelas pada aktivitas kreatif.
            Kita perlu mengenali bahwa anak-anak akan memperlihatkan kreativitas yang lebih besar di sejumlah domain tertentu dibandingkan sejumlah domain lainnya. Sebagai contoh, seorang anak yang memperlihatkan keterampilan berpikir kreatif di bidang seni. Tujuan pentingnya adalah menjadikan anak-anak lebih kreatif.
Thinking Scientifically (Berpikir Ilmiah)
            Seperti halnya ilmuwan, anak-anak mengajukan pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai realitas dan mencari jawaban terhadap persoalan yang sering kali tampak sederhana atau tidak dapat dijawab oleh orang lain (seperti mengapa langit berwarna biru?). Apakah anak-anak menghasilkan hipotesis, melakukan eksperimen, dan mencapai kesimpulan tentang data mereka sebagaimana para ilmuwan?
            Alasan ilmiah sering bertujuan saat mengidentifikasi relasi kausal. Seperti ilmuwan, anak-anak ditempatkan di sebuah tekanan yang banyak pada mekanisme kausal. Mereka mengerti bagaimana peristiwa yang disebabkan beratnya lebih berat dalam kesimpulan kausal mereka daripada bahkan seperti pengaruh besar sebagai apakah penyebabnya terjadi sebelum efeknya.
            Juga terdapat perbedaan penting antara penalaran anak-anak dan penalaran ilmuwan. Sebagai contoh, anak-anak kesulitan mendesain eksperimen yang dapat membedakan berbagai alternatif penyebab. Anak-anak cenderung bias dalam eksperimen, sehingga menganggap eksperimen itu mendukung apa pun hipotesis yang telah dibuat sebelumnya. Terkadang anak-anak melihat hasil sebagai pendukung hipotesis awal, bahkan ketika hasil sangat bertentangan dengan hipotesisnya.
            Seringkali, keahlian yang digunakan oleh para ilmuwan, seperti observasi yang teliti, membuat grafik, meregulasi pemikirannya, serta mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan pengetahuan seseorang untuk menyelesaikan masalah, tidak diajarkan di sekolah. Anak-anak memiliki banyak konsep yang tidak sejalan dengan sains dan realitas. Guru yang baik menerima da memahami konsep ilmiah anak-anak itu, kemudian menggunakan konsep itu sebagai penunjang pembelajaran. Pengajaran sains yang efektif membantu anak-anak membedakan antara kesalahan (error) dan konsep yang salah, dan mendeteksi ide-ide salahyag harus diganti dengan konsep yang lebih akurat.
Metacognition (Metakognisi)
            Metakognisi adalah kognisi mengenai kognisi, atau mengetahui mengenai mengetahui (Flavell, 2004). Metakognisi memiliki banyak bentuk, termasuk memikirkan dan mengetahui kapan dan dimana menggunakan berbagai strategi untuk belajar atau memecahkan masalah. Konseptualisasi dari metakognisi terdiri dari dimensi fungsi eksekutif, seperti perencanaan ( sebagai contoh, memutuskan bagaimana menghabiskan waktu untuk focus pada tugas) dan self-regulasi (memodifikasi strategi seperti kerja pada saat proses tugas berlangsung). Mayoritas studi yang diklasifikasikan sebagai “metakognisi” berfokus pada metamemori, atau pengetahuan mengenai memori. Metamori juga mencakup pengetahuan mengenai memori diri kita sendiri.
            Pada anak usia 5 hingga 6 tahun, anak-anak biasanya sudah mengetahui bahwa item-item yang sudah dikenal akan lebih mudah dipelajari dibandingkan item-item  yang tidak dikenal, bahwa daftar yang lebih pendek akan lebih mudah dibandingkan daftar yang lebih panjang, bahwa mengenal lebih mudah dibandingkan mengingat kembali, dan lupa akan lebih sering terjadi dengan bertambahnya waktu. Metamemori pada anak juga masih terbatas. Mereka belum memahami bahwa item-item yang saling berhubungan lebih mudah untuk diingat daripada item-item yang tidak berkaitan satu sama lain.
            Anak-anak juga memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai dirinya sendiri. Mereka sering berpikir bahwa mereka memiliki kemampuan yang lebih pada memorinya. Namun, ketika anak memasuki masa sekolah anak-anak akan berpikir lebih realistic terhadap kemampuan memori mereka.
            Selain metamemori, metakognisi juga mencakup pengetahuan mengenai strategi (White, Fredrikson, & Collins, 2010). Dalam pandangan Michael Pressley (2003), membantu anak memperkenalkan strategi membantu mereka memecahkan masalah.  Dengan memecahkan masalah, anak memiliki perencanaan yang lebih efektif, lebih peka terhadap situasi dan memiliki pemahaman yang lebih baik.
KOSA-KATA, TATA-BAHASA, DAN KESADARAN METALINGUISTIK
       Selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, terjadi perubahan cara mengorganisasikan kosa-kata secara mental. Ketika ditanya mengenai kata pertama apa yang terpikir pada saat mendengar sebuah kata, anak-anak kecil biasanya akan memberikan sebuah kata yang sering kali mengikuti kata tersebut di dalam sebuah kalimat. Sebagai contoh, ketika diminta untuk merespons kata “anjing”, anak kecil akan mengatakan “menggonggong” atau terhadap kata “makan” mereka akan mengatakan “siang”. Sekitar 7 tahun, anak-anak mulai merespons sebuah kata yang merupakan bagian dari kelompok kata dan sekaligus sebagai sebuah stimulus. Sebagai contoh, anak akan merespons kata anjing dengan “kucing” atau “kuda”. Untuk kata makan mereka kini akan mengatakan “minum”. Hal ini memperlihatkan bahwa kini anak-anak mulai melakukan kategorisasi kosa-kata mereka sebagai bagian dari kelompok kata.
          Proses kategorisasi menjadi lebih mudah ketika anak-anak meningkatkan kosa-kata mereka. Kosa-kata anak-anak meningkat dari rata-rata sekitar 14.000 kata di usia 6 tahun menjadi rata-rata sekitar 40.000 kata di usia 11 tahun.
          Anak-anak membuat kemajuan yang serupa untuk tata-bahasa (Tager-Flusberg & Zukowski dalam Santrock, 2015). Selama di sekolah dasar, kemajuan anak-anak di dalam penalaran logis dan keterampilan analitis membantu mereka memahami konstruksi seperti penggunaan yang tepat dari kata perbandingan (lebih pendek, lebih dalam) dan subjektif (“Seandainya kamu menjadi presiden…”). Selama masa sekolah dasar, anak-anak makin memahami dan menggunakan tata-bahasa yang kompleks, seperti pada kalimat berikut ini: Anak laki-laki yang mencium ibunya itu memakai topi. Mereka juga belajar menggunakan bahasa dengan cara yang lebih berkaitan satu sama lain, menghasilkan wacana yang berkaitan. Mereka mampu mengaitkan kalimat yang satu dengan kalimat lainnya untuk menghasilkan deskripsi, definisi, dan narasi yang masuk akal. Anak-anak harus mampu mengerjakan ini secara lisan sebelum mereka mampu menyelesaikannya secara tertulis.
          Kemajuan dalam kosa-kata dan tata-bahasa yang berlangsung selama masa sekolah dasar disertai dengan perkembangan kesadaran metalinguistik (metalinguistic awareness), di mana pengetahuan bahasa, seperti pengetahuan mengenai preposisi atau kemampuan mendiskusikan bunyi bahasa. Kesadaran metalinguistik memungkinkan anak-anak “memikirkan bahasa yang mereka gunakan, pemahaman mengenai kata-kata, dan bahkan mendefinisikannya” (Berko Gleason dalam Santrock, 2015).
Perkembangan bahasa anak sangat erat dengan kegiatan membaca. Karena membaca adalah salah satu bentuk bahasa tulisan dengan kosakata banyak dan membutuhkan pemahaman akan apa yang dibaca. Pada tabel dibawah ini digambarkan ringkasan beberapa tonggak dalam perkembangan bahasa.

Tabel Tonggak Perkembangan Bahasa

PERIODE UMUR
PERKEMBANGAN/PERILAKU ANAK
0 – 6 bulan
Sekedar bersuara, membedahkan huruf hidup, berceloteh pada akhir periode
6- 12 bulan
Celoteh bertambah dengan mencakup suara dari bahasa ucap, isyarat digunakan untuk mengkomunikasikan suatu obyek
12- 18 bulan
Kata pertama diucapkan, rata-rata memahami 50 kasakata
18 – 24 bulan
Kosakata bertambah sampa
2 tahun
Kosakata bertambah cepat, penggunaan bentuk jamak secara tepat, penggunaan kata lampau (past tense), penggunaan beberapa preposisi atau awalan
3 – 4 tahun
Rata-rata panjang ucapan naik dari 3 sampai 4 morfem per kalimat, mengunanakan pertanyaan “ya” dan “tidak” dan pertanyaan mengapa “mengapa, dmana, siapa, kapan”, menggunakan bentuk negative danperintah, pemahaman pragmatis bertambah.
5 – 6 tahun
Kosakata mencapai rata-rata 10.000 kata, koordinasi kalimat sederhana
6 – 8 tahun
Kosakata terus bertambah cepat, lebih ahli menggunakan sintaksis, keahlihan bercakap meningkat
9- 11 tahun
Definisi kata mencakup sinonim, strategi berbicara terus bertambah
11 – 14 tahun
Kosakata bertambah dengan kata-kata abstrak, pemahaman bentuk tata bahasa kompleks, pemahaman fungsi kata dalam kalimat
15 – 20 tahun
Dapat memahami karya sastra dewasa
Gambar 1. Perkembangan bahasa individu (Santrock 2010: 75)

MEMBACA

       Sebelum belajar membaca, anak-anak belajar menggunakan bahasa untuk membicarakan hal-hal yang tidak terlihat; mereka mempelajari arti sebuah kata; mereka juga belajar mengenali bunyi dan mendiskusikannya. Anak-anak yang memasuki sekolah dasar dengan kosa-kata yang baik, diuntungkan ketika belajar membaca (Paris & Paris dalam Santrock, 2015). Kosa-kata yang baik akan membantu pembaca mengetahui makna kata dengan mudah (Beaty dan Cunningham dalam Santrock, 2015).
       Sebelum belajar membaca anak belajar menggunakan bahasa untuk berbicara mengenai hal-hal yang tidak ada, mereka belajar mengenai apa itu kata, seperti mereka belajar bagaimana mereka mengenali bunyi dan membahas tentang hal tersebut (Berko Gleason,2003 dalam Santrock 2011 :218)
       Perkembangan kosakata memilik peranan penting dalam pemahaman membaca (Berninger, 2006 dalam Santrock 2011 :218). Jika anak mengembangkan kosakata yang luas maka langkah selanjutnya untuk membaca yang lebih ringan. Anak yang memulai sekolah dasar dengan bekal kosakata yang tidak banyak akan mengalami kesulitan ketika mereka belajar membaca.
       Cara mengajar membaca pada anak terdiri dari dua pendekatan yaitu pendekatan bahasa keseluruhan dan keterampilan dasar dan fonetik. Pendekatan bahasa-keseluruhan (whole-language approach) menekankan bahwa instruksi membaca seharusnya sejalan dengan proses belajar bahasa yang natural pada anak-anak. Beberapa kelas yang menggunakan pendekatan ini memulai pelajarannya dengan mengajarkan pembaca mengenali keseluruhan kata atau bahkan seluruh kalimat, serta menggunakan konteks dari yang mereka baca untuk menduga makna kata-katanya. Materi yang dibaca sebaiknya menyeluruh dan bermakna – artinya, anak-anak diberi materi dalam bentuk yang lengkap, seperti cerita dan puisi, sehingga mereka belajar untuk memahami fungsi komunikasi dari bahasa. Kegiatan membaca sebaiknya dikaitkan dengan kegiatan mendengarkan dam keterampilan menulis.
       Sebaliknya, keterampilan fonetik (phonics approach) menekankan bahwa instruksi membaca sebaiknya mengajarkan fonetik dan aturan-aturan dasar yang dipakai untuk menerjemahkan simbol-simbol tertulis ke dalam bunyi. Instruksi membaca di tahap awal sebaiknya menggunakan materi-materi yang sederhana. Setelah anak-anak belajar persesuaian aturan yang mengaitkan fonem-fonem yang diucapkan dengan huruf-huruf alfabet yang digunakan untuk melambangkan pengucapannya, maka mereka sebaiknya diberi materi bacaan, seperti buku dan puisi (Cunningham & Allington, Rasinski & Padak dalam Santrock, 2015).

       Rich Mayer (2008) baru-baru ini menjelaskan tiga proses kognitif yang terlibat agar dapat membaca tulisan:
1.      Memahami unit-unit suara dalam kata-kata, yang mencakup pemahaman fonem.
2.      Mengkodekan kembali kata-kata, yang mencakup pengubahan kata-kata tertulis menjadi suara.
3.      Mengakses arti kata, dengan membayangkan representasi dari sebuah kata.
      
       Menurut Chall (1979, 1992) membaca berkembang melalui lima tahap. Batas usia tidak bersifat kaku dan tidak berlaku untuk setiap siswa. Misalnya beberapa murid belajar membaca sebelum masuk kelas 1. Tahap-tahap ini memberikan pemahaman umum mengenai perubahan developmental dalam proses belajar membaca:
1.    Tahap 0 : dari kelahiran sampai grade 1, anak menguasai beberapa prasyarat untuk membaca. Banyak yang menguasai cara dan aturan membaca, mengidentifikasi huruf, dan cara menulis namanya sendiri. Beberapa anak belajar membaca kata-kata yang biasanya muncul bersama tanda simbol.
2.    Tahap 1 : di grade 1 dan 2, banyak anak mulai belajar membaca. Mereka belajar dengan menggunakan kata-kata (yakni, menyuarakan huruf atau sekelompok huruf dan membentuk ucapan kata). Dalam tahap ini, mereka juga mampu menguasai penulisan dan pengucapan huruf.
3.    Tahap 2: di grade 2 dan 3, anak makin lancar dalam membaca. Akan tetapi, pada tahap ini, membaca masih belum banyak digunakan untuk belajar. Mereka disibukkan oleh tugas membaca sehingga anak tidak punya banyak energi untuk memahami isi bacaannya.
4.    Tahap 3 : di grade 4 sampai 8, anak mampu mendapatkan informasi dari bacaannya. Dengan kata lain, mereka belajar membaca. Mereka masih kesulitan memahami informasi yang diberikan dari beragam perpekstif dalam teks yang sama. Anak yang pada tahap ini belum mampu menguasai keahlian membaca, mereka akan mengalami kesulitan serius dalam bidang akademik.
5.    Tahap 4 : banyak murid yang telah menjadi pembaca yang kompeten. Mereka mampu memahami materi tertulis dari bebrbagai perspektif. Hal ini membuat mereka terkadang terlibat dalam diskusi yang lebih maju dalam pelajaran sastra, sejarah, ekonomi, dan politik. Bukan kebetulan bahwa novel-novel baru diberikan pada masa ini, karena pemahaman terhadap novel membutuhkan pemahaman membaca yang canggih. (Santrock, 2010: 421)
MENULIS
            Ketika anak-anak mulai menulis, anak-anak sering kali menciptakan ejaan. Orang tua dan guru seharusnya mendukung pembelajaran menulis anak-anak, namun tidak perlu terlalu memedulikan pembentukan kata atau pengejaan. Mengoreksi pengucapan dan penulisan harus dilakukan secara selektif dan positif sehingga tidak mematahkan semangat menulis anak.
            Seperti halnya menjadi pembaca yang baik, menjadi penulis yang baik memerlukan waktu bertahun-tahun dan banyak sekali latihan. Anak-anak harus memperoleh kesempatan menulis yang banyak. Ketika keterampilan berbahasa dan kognitif mereka meningkat dengan intruksi yang baik, demikian pula dengan keterampilan menulisnya. Sebagai contoh, membangun pemahaman yang lebih rumit terhadap sitaks dan tata bahasa menjadi dasar bagi penulisan yang lebih baik. Demikian pula keterampilan kognitif sebagai penalaran yang logis dan teratur. Melalui pelatihan di masa sekolah, para siswa mengembangkan metode-metode yang rumit untuk mengorganisasikan ide-ide mereka.
            Kompetensi menulis siswa saat ini semakin diperhatikan. Salah satu penelitian mengungkap bahwa 70 hingga 75 persen siswa AS di kelas 4 hingga 12 adalah penulis dengan prestasi yang rendah. Pelatih di universitas melaporkan bahwa 50 persen lulusan sekolah menengah atas tidak dapat menulis dengan level mahasiswa.
BILINGUALISME DAN MEMPELAJARI BAHASA KEDUA
            Apakah ada periode sensitive dalam mempelajari bahasa kedua? Yaitu, jika seseorang ingin mempelajari bahasa kefua, seberapa pentingkah usia di mana ia mulai mempelajarinya? Apakah cara terbaik untuk mengajar anak-anak yang tidak menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa utama?
Mempelajari Bahasa Kedua
            Selama bertahun-tahun, dikatakan bahwa jika seseorang tidak mempelajari bahasa kedua sebelum masa pubertas, ia tidak akan pernah mencapai kelancaran berbahasa untuk bahasa kedua (Johnson & Newport, 1991). Bagi pembelajar bahasa seperti remaja dan dewasa, kosa kata baru lebih mudah dipelajari daripada suara atau tata bahasa baru.
            Bilingualisme (bilingualism) adalah suatu kemampuan untuk berbicara dengan dua bahasa. Bilingualism memiliki efek positif bagi perkembangan kognitif anak. Anak-anak yang fasih dalam dua bahasa performanya lebih baik dibandingkan teman-temannya yang hanya menguasai satu bahasa, dalam uji mengendalikan atensi, pembentukan konsep, penalaran analistis, fleksibilitas kognitif, dan kompleksitas kognitif. Ulasan penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak dengan dua bahasa memiliki tingkat kefasihan yang lebih rendah (misalnya kosa kata yang lebih sedikit) daripada anak-anak dengan satu bahasa.
Pendidikan Bilingual
            Bagaimana cara terbaik untuk mengajar anak-anak ini? Selama dua decade terakhir, strategi yang dipilih adalah pendidikan bilingual (bilingual education), yang mengajarkan subjek-subjek akademik kepada anak-anak imigran dalam bahasa asal sembari mengajarkan bahasa inggris secara perlahan. Para pendukung pendidikan ini menyatakan bahwa seandainya anak-anak yang tidak mengenal bahasa inggris diajari hanya dalam bahasa inggris, mereka akan jauh tertinggal pelajarannya. Mereka juga mempertanyakan kemungkinan seorang anak berusia 7 tahun belajar aritmatika atau sejarah yang diajarkan dalam bahasa inggris padahal mereka tidak berbicara dalam bahasa itu.
            Bagaimana hasil program pendidikan bilingual yang ditemukan oleh para peneliti? Mengambil kesimpulan mengenai efektivitas program pendidikan bilingual merupakan sesuatu yang sulit karena di sepanjang tahun terdapat variasi di sejumlah program-program ini dalam hal efek, tipe instruksi, kualitas sekolah di samping pendidikan bilingual, guru, anak0anak, serta berbagai faktor lainnya. Di samping itu di Amerika Serikat tidak ada studi eksperimen yang secara efektif dapat membandngkan pendidikan bilingual dengan pendidikan yang hanya menggunakan bahasa inggris.
            Riset mendukung pendidikan bilingual dalam hal (1) anak-anak mengalami kesulitan dalam mempelajari sebuah subjek seandainya materi tersebut diajarkan dalam bahasa yang tidak mereka pahami, dan (2) ketika kedua bahasa diintegrasikan di dalam kelas, anak-anak akan belajar bahasa kedua dengan lebih siap dan lebih bersedia berpartisipasi secara aktif.      
KASUS
Sumber: http://sp.beritasatu.com/News/2006/12/24/Psikolog/psiko.htm
            Sebut saja namanya Denny, bocah berusia delapan tahun. Di sekolah, anak ini tidak hanya lincah, tetapi juga mudah bergaul dengan siapa saja. Namun Denny sering membuat ayah dan ibunya bingung karena tingkah-laku dan cara berpikir yang berbeda. Denny memiliki sikap pelupa, tidak suka membaca, sulit mengeja, dan lemah memahami konsep dalam subjek matematika dan sering tidak memahami apa yang dibacanya. 
            Orangtua Denny mendapat laporan dari guru bahwa anak itu sulit menghafal abjad, susah menghafal nama hari sesuai urutannya, dan sulit menulis. Abjad ditulisnya tidak sesuai dengan pembentukan benar. Dia juga sering keliru menulis huruf b dan d, p dan q. Huruf z, j, dan g, sering ditulis terbalik. Akhirnya Denny belum dapat membaca dengan lancar, meskipun sudah naik kelas. Tetapi di balik itu, dia fasih berbicara dan sering memberikan ide menarik. Ia lebih senang mendengar cerita yang dibacakan guru, dibanding membaca. 
            Ketika ditanya kenapa ia tidak mau membaca, Denny mengatakan saat membuka buku ia melihat huruf yang ada di dalamnya campur-aduk, sehingga kata-katanya tidak jelas. Akhirnya diketahui Denny mengalami disleksia.  Belajar dari pengalaman Denny, biasanya sebagian orangtua cemas ketika melihat anaknya lamban, terutama saat membaca dan menulis. Orangtua umumnya langsung mengklaim anaknya memiliki kekurangan inteligensia. Padahal ketika si anak kesulitan dengan kata-kata, baik saat membaca atau menulis, serta menerangkan sesuatu, kemungkinan si anak mengalami disleksia. 

Hasil diskusi kelompok :
            Menurut kelompok kami, pendekatan yang sebaiknya digunakan untuk mengajari anak membaca adalah keterampilan fonetik (phonics approach) yaitu mengajarkan fonetik dan aturan-aturan dasar yang dipakai untuk menerjemahkan simbol-simbol tertulis ke dalam bunyi karena disleksia memiliki masalah yang berhubungan dengan kata dan simbol tulisan. Instruksi membaca di tahap awal sebaiknya menggunakan materi-materi yang sederhana. Seperti mengajarkan anak untuk memanipulasi fonem dengan huruf, memfokuskan instruksi pada satu atau dua jenis manipulasi fonem, Setelah anak-anak belajar persesuaian aturan yang mengaitkan fonem-fonem yang diucapkan dengan huruf-huruf alfabet yang digunakan untuk melambangkan pengucapannya, maka mereka sebaiknya diberi materi bacaan, seperti buku dan puisi.                       
            Dari kasus yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Denny mengalami disleksia. Yang unik, sebagian besar penderita disleksia adalah kaum lelaki, seperti Denny. Disleksia merupakan salah satu bentuk dari Learning Disabilities (LD).  Disleksia berasal dari bahasa Yunani, ‘‘dys’‘ yang artinya sulit, dan ‘‘lex’‘ yang berarti berbicara. 
            Disleksia tidak disebabkan oleh kelainan fisik ataupun mental, karena si penderita memiliki kemampuan intelegensi yang normal. Hanya saja, ia memiliki masalah yang berhubungan dengan kata dan simbol tulisan. Sehingga ia terus menerus melakukan kesalahan dalam membaca, menulis, mengeja dan terkadang matematika dan notasi musik. Bentuk klinis disleksia itu bermacam-macam, diantaranya sulit menyebut nama benda yang sangat sederhana, padahal anak itu mengenal betul benda tersebut seperti pensil, buku, sepatu dll. Gangguan lain bisa juga dalam kemampuan menulis huruf, misalnya "p" ditulis "q", atau "d" ditulis "b".
            Disleksia tidak sama dengan penyandang cacat mental. Seorang anak yang mengalami disleksia murni, dalam arti mengalami suatu gangguan perkembangan spesifik pada tahap usia tertentu, dengan pertumbuhan otak dan sel otaknya yang sudah mulai sempurna, ia akan dapat mengatasi gangguan disleksianya.
            Pada umumnya anak yang mendapat gangguan disleksia mempunyai tingkat intelegensi yang normal, bahkan ada yang mempunyai tingkat intelegensi di atas normal. Jadi jangan menganggap bahwa anak yang menderita gangguan disleksia itu berarti anak yang bodoh atau terbelakang. Yang terpenting ketika ditemukan disleksia pada seorang anak, berilah terapi sedini mungkin yang dilakukan dengan penuh kesabaran dan ketelatenan Khusus untuk penderita disleksia yang disertai gangguan penyerta, dalam proses terapinya ditambah dengan terapi perilaku.

PENANGANAN :
            Ada banyak hal yang dapat kita lakukan dalam menyikapi anak-anak yang mengalami disleksia. Karena disleksia bukanlah penyakit yang dapat sembuh dengan meminum obat-obatan, melalui metode belajar khusus, dukungan dan kesabaran orang tua maupun para pendidik, anak yang menderita disleksia akan dapat mengatasi kesulitan baca tulisnya sehingga ia lebih percaya diri dan termotivasi baik. Karena itu, orang tua maupun para pendidik sangat berperan dimana keduanya merupakan pihak sangat sering berinteraksi dengan anak-anak yang mengalami disleksia tersebut. Tatalaksana disleksia diarahkan pada kehidupan penderita. Pada anak yang masih kecil tatalaksana diarahkan pada perbaikan. Setelah anak semakin besar maka tatalaksana diarahkan pada proses adaptasi.

a.       Orang Tua
     Yang harus dilakukan orang tua adalah mengenali gangguan tersebut sejak dini dan membantu anak mengatasi kesulitan baca tulisnya, meskipun sayangnya, tak banyak orang tua yang dapat langsung mendeteksi gangguan disleksia pada anaknya sehingga label malas, susah berkonsentrasi bahkan bodoh diberikan kepada anaknya. Selain itu orang tua dapat memberikan umpan balik berupa reward kepada anaknya apabila anaknya telah mencapai suatu kemajuan dengan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya.

b.      Pihak Pendidik
     Anak dengan disleksia yang disekolahkan bersama dengan anak-anak normal dapat membuat mereka merasa "bodoh" sebab mereka tidak dapat keluar dari permasalahan itu. Selanjutnya mereka gagal naik kelas, menutup diri dan frustasi. Para pendidik ditekankan untuk mengidentifikasi ketidakmampuan belajar sedini mungkin, sehingga anak dapat diberikan pendidikan alternatif dan dapat menjadi anak yang berprestasi pula disekolahnya. Memang banyak anak-anak dengan disleksia dapat belajar dan diijinkan masuk di kelas reguler, namun mereka haruslah mendapatkan lingkungan yang baik dan mendukung, menyediakan pengajar yang mengerti dan ahli yang dapat memberikan intervensi.
     Program intervensi yang diberikan merupakan faktor-faktor penting dalam membaca yaitu mengajarkan anak untuk memanipulasi fonem dengan huruf, memfokuskan instruksi pada satu atau dua jenis manipulasi fonem, pola pengajaran dalam kelompok kecil, dan instruksi yang sistematis dan eksplisit. Intervensi yang efektif akan mengajarkan anak untuk mengerti bagaimana huruf berhubungan dengan suara dari huruf tersebut serta pola mengeja, selain itu mereka harus diberi audiotaping saat belajar atau lembaran text, menggunakan flashcard atau kartu pengingat untuk mampelajari sesuatu yang baru, selalu tempatkan anak tersebut posisi depan bila dikelas sehingga pengajar dapat memantau dengan baik dan menggunakan komputer untuk mengeja dan memeriksa tata bahasanya.
     Para penderita disleksia dapat diajarkan untuk mengikuti latihan seperti berdiri di atas papan bergoyang, melempar kantung dan mengayunkan bola selama sepuluh menit dua kali sehari. Kemampuan mereka memang mengalami peningkatan, terutama dalam hal membaca, sains dan matematika, subjek pelajaran yang kerap kurang mampu dipahami penderita disleksia.

        

DAFTAR PUSTAKA


King, L. A. (2012). Psikologi Umum Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika.

Santrock, J.W. (2010). Psikologi pendidikan. Edisi kedua. Jakarta: Kencana prenada media group

Santrock, J.W. (2011). Masa Perkembangan Anak. Buku 2 Edisi 11. Jakarta:Salemba Humanika


Santrock, J. W. (2012). Life Span Development. Jakarta: Erlangga.

No comments:

Post a Comment